BIBA DOLBI SAKULA

Deja Vu, 2024

Screen Print on Fabric
178,2 x 84 cm ( 12 panel, 42 x 29,7 each)
(PCP115)
Rp. 33.000.000

Karya ini merupakan seri yang terdiri dari 12 bagian-potongan, tersusun menjadi suatu kesatuan. Masing-masing karya berukuran 42 x 29,7 cm menggunakan teknik sablon di atas kain dan terinspirasi oleh emblem (backpatch) berukuran besar yang lazimnya disematkan pada punggung jaket atau sejenisnya. Inspirasinya, yaitu budaya tandingan (subculture) komunitas atau gang yang menjadi kebutuhan identitas sekaligus fashion. Tampilan warna dan visual mengadopsi permainan arcade, komik, sticker, merchandise, dan sejenisnya yang populer pada 1990an.

Déjà vu–selanjutnya ditulis dejavu—berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah memiliki arti pernah dilihat. Istilah tersebut diperluas kemudian bahwa dejavu merupakan fenomena perasaan dan sensasi kuat tatkala suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini dialami sudah pernah terjadi di masa lalu. Berangkat dari situasi empiris selama kurun usia anak-anak sampai remaja (masa Orde Baru hingga Reformasi) yang berdomisili di kota Jakarta, seniman merepresentasikan pengalamannya kembali ke dalam bentuk visual. Lewat pengalaman tersebut, seniman mengikhtisarkan bahwa yang terjadi di masa lalu punya korelasi dengan peristiwa hari ini. Dengan kata lain, suatu dejavu.

Kecintaan seniman terhadap permainan arcade dan aktivitas membaca komik di Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur bersama teman-teman sebayanya selepas sekolah menjadi rutinitas yang dilakukannya hampir setiap hari. Tepatnya pada 14 Mei 1998, seniman menyaksikan langsung kerusuhan pembakaran Yogya Plaza. Peristiwa historis ini dianggap sebagai salah satu peristiwa yang paling mengerikan, setidaknya 288-488 jiwa dinyatakan terbakar hidup-hidup. Ingatan peristiwa Yogya Plaza begitu membekas di benak seniman hingga sekarang. Menjadi semacam basis memori yang menggerakkan naluri kreatif, meski pada mulanya terasa amat traumatik.

Pada masa yang bersamaan, seniman mengenali berbagai geliat subculture anak muda yang populer saat itu, dari hardcore, punk, metal, atau skinhead yang ketika itu direduksi sebagai komunitas underground. Memasuki umur remaja dalam fase pencarian jati diri seniman pun terlibat dan ikut serta dalam tren subculture tersebut. Tidak hanya musik dan fashion yang membuatnya tertarik kepada subculture ini, muatan ideologi dan spirit kultur perlawanan juga menjadi alasan seniman memilih gaya hidup mandiri hingga dalam laku pergaulannya ia turut bergiat aktif pada pembuatan zine, rilisan fisik, dan merchandise.

Menyadari semua itu, seniman menjadi lebih peka dan awas memahami peristiwa-peristiwa dan situasi politik yang terjadi pada masa kekuasaan pemerintahan Orde Baru dan Reformasi melalui media-media atau karya buatan komunitas underground, melalui rilisan musik, poster, zine, merchandise, dan sebagainya. Kini subculture semacam itu masih hadir di lingkungan kesehariannya dan terus berkembang dengan pengulangan. Semacam repetisi masa lalu, baik lewat fashion, musik, maupun sikap ideologis.

Peristiwa-peristiwa lain pada masa itu—seperti kegandrungan anak muda yang adiktif terhadap narkoba, terutama putaw atau etep dalam bahasa sehari-hari, tingginya intensitas tawuran antar sekolah, antar warga, aksi pencurian, perampasan ruang hidup, perdagangan manusia, kejahatan asuransi, aksi-aksi demonstrasi politis yang disertai kekerasan oknum aparat, pelanggaran HAM dan diskriminasi ras dan etnis tertentu—turun menjadi dejavu yang dialami seniman. Dalam meresponnya, seniman menjadikan kesemuanya sebagai bahan perenungan dan refleksi terhadap situasi yang berlangsung pada masa sekarang. Dengan retrospektif, seniman menyaksikan ulang repetisi sejarah yang berulang kali terjadi.

Sederhananya, yang seniman maksud mengenai repetisi sejarah, yaitu peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu terjadi lagi pada masa berikutnya. Walaupun masa lalu adalah serangkaian momen yang sudah terlewati, namun motif pengulangannya bisa jadi membentuk pola yang sama. Dengan kata lain, masa lalu bukanlah suatu masa yang kedap, tertutup, ataupun terhenti. Pengulangan berlangsung terus-menerus. Seniman tahu bahwa di setiap repetisi sejarah, pelaku, tempat, dan waktunya pasti selalu berbeda.

This work is a series consisting of 12 fragments that come together as a whole. Each piece measures 42 x 29.7 cm and uses silkscreen technique on fabric, inspired by large emblems (backpatches) commonly affixed to the back of jackets or similar garments. The inspiration stems from the subculture of community or gang emblems, which serve both as identity markers and fashion statements. The colours and visuals adopt aesthetics from arcade games, comics, stickers, merchandise, and similar styles popular in the 1990s.

Déjà vu—hereafter written as dejavu—originates from the French language and literally means “already seen.” The term has come to describe the strong feeling or sensation that a current event or experience has occurred before in the past. Stemming from the artist’s lived experience as a child and teenager (during the New Order and Reformation eras) in Jakarta, this work visually re-presents those memories. Through these experiences, the artist summarises that past events are correlated with present-day occurrences—in other words, a dejavu.

The artist’s love for arcade games and reading comics at Yogya Plaza in Klender, East Jakarta, with friends after school became an almost daily routine. On 14 May 1998, the artist witnessed first-hand the riots and burning of Yogya Plaza. This historic event is regarded as one of the most horrifying incidents, with at least 288 to 488 lives reportedly lost in the fire. The memory of the Yogya Plaza tragedy is deeply etched in the artist’s mind and continues to serve as a kind of memory base that fuels creative instinct—though it initially felt deeply traumatic.

During the same period, the artist became familiar with various youth subcultures that were popular at the time—hardcore, punk, metal, or skinhead—which were often reduced to the “underground community” label. As a teenager in a phase of identity exploration, the artist became involved in and participated in these subculture trends. It wasn’t just the music and fashion that drew the artist in, but also the ideology and spirit of resistance culture that led them to adopt an ind

ependent lifestyle. Socially, the artist was actively involved in creating zines, physical releases, and merchandise.

In light of this, the artist became more sensitive and alert to political events and situations during the New Order and Reformasi eras, gaining awareness through media and works produced by underground communities—through music releases, posters, zines, merchandise, and so forth. These kinds of subcultures are still present in the artist’s daily environment and continue to evolve through repetition. It is a kind of repetition of the past—whether through fashion, music, or ideological stance.

Other events from that era—such as youth addiction to drugs (especially putaw or etep in everyday terms), frequent school brawls, inter-community clashes, theft, displacement, human trafficking, insurance fraud, politically charged protests involving violent actions by rogue security personnel, human rights violations, and racial and ethnic discrimination—have also emerged as dejavu experiences for the artist. In response, the artist turns these into material for reflection and contemplation on today’s circumstances. Through retrospection, the artist revisits the repeated cycles of history.

Put simply, what the artist means by historical repetition is that events that once occurred in the past recur in later times. Even though the past is a series of moments already passed, the motives behind their repetition may form similar patterns. In other words, the past is not a sealed, closed, or frozen time. Repetition occurs continuously. The artist recognises that in each repetition of history, the actors, places, and times are always different.